Kamis, 05 Juli 2012

MEMBIDIK POTENSI LAHAN KERING NTT

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG

Strategi pembangunan peternakan di INDONESIA mempunyai potensi yang baik di masa mendatang, karena permintaan akan bahan-bahan yang berasal dari ternak akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan dan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan yang bergizi tinggi. Pembangunan di bidang  peternakan antara lain adalah memfasilitasi penyediaan pangan asal ternak yang cukup baik secara kuantitas maupun kualitasnya, memberdayakan SDM agar menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan, membantu menciptakan lapangan kerja, dan melestarikan serta memanfaatkan sumberdaya alam pendukung peternakan.

Seperti kita ketahui bahwa pembangunan peternakan tidak hanya membutuhkan suatu tekad dan kemauan kuat dari seseorang, namun pembangunan peternakan tersebut juga membutuhkan factor penunjang yang sangat penting seperti halnya pakan, manajemen serta bibit dari ternak itu sendiri. Pakan sebagai factor penunjang utama pembangunan peternakan, tentunya membutuhkan lahan yang baik sehingga dapat digunakan sebagai obyek penghasil hijauan makanan ternak, yang tersedia secara kontinyu baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Sedangkan menajemen merupakan dasar dari sumber daya manusia untuk bagaimana mengelola peternakan, sehingga mampu meningkatkan potensi peternakan yang berdaya saing tinggi, sekalipun pembangunan peternakan tersebut berada pada lahan atau daerah yang tidak memungkinkan untuk pengembangan peternakan itu sendiri.
Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sentra peternakan nasional berbasis lahan kering. Pengembangan peternakan berbasis lahan kering di daerah beriklim kering seperti NTT juga bisa dijadikan model pembangunan peternakan di masa mendatang. Model ini akan efektif menekan angka kemiskinan dan pengangguran serta mengurangi ketergantungan terhadap ternak impor dan mendorong kemandirian pangan nasional. Hal itu terungkap dalam seminar dan lokakarya nasional Pengembangan Industri Peternakan Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Lahan Kering Menuju Kemandirian Pangan Nasional yang digelar Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang bersama harian Suara Pembaruan (SP) di Kupang, NTT, Jumat (2/12). Seminar yang dipandu Pemimpin Redaksi SP dan Investor Daily Primus Dorimulu itu menghadirkan pembicara Rektor Undana Frans Umbu Datta, Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Ketua Komite Tetap Agribisnis Peternakan Kadin Indonesia Juan Permata Adoe, serta Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Kementan Bess Tiesnamurti.

Lahan kering di NTT dapat dimanfaatkan sebagai areal untuk penanaman hijauan makanan ternak disamping sebagai areal tanaman pertanian, sehingga potensi pembangunan peternakan yang diharapkan untuk mengembalikan NTT sebagai gudang ternak seperti yang dicanangkan oleh Gubernur NTT, dapat berjalan sesuai rencana. Pembangunan peternakan di NTT terhambat karena ketersediaan pakan yang kurang memadai akibat adanya lahan tidur dan lahan kering yang tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat petani peternak sebagai lahan yang berdayaguna baik untuk peternakan maupun pertanian. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan kering di NTT dan mengurangi resiko kegagalan agar sector peternakan di NTT tetap bertahan dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani peternak. Hal ini dapat dilakukan dengan manajemen dan tekhnologi yang mampu mengatasi permasalahan adanya lahan kering di NTT sebagai salah satu faktor kurangnya ketersedian pakan bagi ternak. Jika pengelolaan lahan kering tepat dan sejauh mungkin mencegah dan mengurangi kerusakan dan dapat menjamin kelestariannya akan membawa manfaat besar untuk mendukung usaha di sector peternakan yang berkelanjutan dan juga dapat mendukung usaha pertanian.

Ada beberapa hal yang akan diuraikan dalam tulisan ini, antara lain: gambaran lahan kering di NTT, upaya-upaya pengelolaan lahan kering untuk pengembangan peternakan, potensi ternak pada lahan kering serta kombinasi pemanfaatan lahan kering dengan peternakan dan potensi sumber daya alam.


1.2  TUJUAN

v  Mengetahui gambaran  lahan kering di NTT,
v  Mengetahui usaha atau upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pakan pada lahan kering,
v  Memanfaatkan lahan kering sebagai potensi peternakan, dan
v  Mengetahui manfaat yang lebih dari segi ekonomi, efektifitas, serta tetap terjaganya ekosistem dengan perwujudan usaha pengelolaan lahan kering yang dikombinasikan dengan usaha peternakan.















BAB  II
PEMBAHASAN

Upaya untuk mengembangkan peternakan di daerah NTT adalah untuk memenuhi permintaan akan produk-produk dalam negeri misalnya daging. Sebagaimana diketahui bahwa pemenuhan akan kebutuhan daging dalam negeri sebagian masih berasal dari luar. Upaya tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah pedesaan, memantapkan pendapatan petani kecil dan meningkatkan lapangan kerja didalam maupun luar usaha tani. Peningkatan pendapatan dalam sector peternakan dapat tercapai apabila ternak-ternak yang dihasilkan mempunyai produktivitas yang tinggi sebagaimana yang berlaku dipasaran atau dengan kata lain untuk mendapatkan harga jual yang tinggi maka produksi ternak harus optimal.
Provinsi NTT memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan peternakan. Namun di provinsi NTT beriklim kering (Semi arid) yang dipengaruhi oleh Angin muson. Kondisi wilayah Nusa Tenggara Timur hanya memiliki dua musim, yaitu musim penghujan sangat pendek yang terjadi antara bulan Desember sampai bulan April, sedangkan musim kemarau panjang dan kering terjadi pada bulan Mei sampai bulan Nopember. Keadaan demikian, berakibat jumlah pakan untuk ternak akan tersedia dalam jumlah yang banyak serta memiliki  kualitas yang baik pada musim hujan saja, sedangkan pada musim kemarau jumlah pakan yang tersedia sangatlah sedikit dengan kualitas yang rendah. Hal ini diperparah lagi dengan system pemeliharaan ternak yang masih ekstensif, serta kurangnya sumber daya manusia untuk memanfaatkan lahan kering di NTT sebagai tempat tersedianya hijauan makanan bagi ternak. Akibatnya tidak dapat memenuhi kebutuhan pakan bagi ternak sehingga produksi yang diharapkan tidak optimal dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi.  Oleh karena itu perlu adanya sumber daya manusia yang berwawasan IPTEK untuk meningkatan potensi peternakan di NTT terutama pada lahan kering.



A.    LAHAN KERING DI NUSA TENGGARA TIMUR
Lahan  adalah tempat berpijaknya ternak, tempat beraktifitas dan hidup ternak sebagai tempat penyediaan hijauan makanan ternak. Lahan sebagai sumber pakan umumnya bervariasi dan pada prinsipnya semua tipe lahan dapat menjadi tempat usaha tanaman pakan ternak dan tergantung pada jenis tanaman yang diusahakan. Namun idealnya lahan tanaman pakan ternak sebaiknya memiliki kesuburan tanah yang cukup dan memiliki sumber air yang cukup. Untuk kondisi daerah tropis kering seperti NTT umumnya lahan yang tersedia dengan tingkat kesuburan yang rendah, untuk itu pengembangan tanaman pakan ternak lebih selektif yaitu dengan mengembangkan jenis tanaman pakan ternak yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kesuburan tanah yang rendah dan kekurangan air.

Lahan kering yang ada di NTT, banyak dibiarkan begitu saja, tanpa ada yang mengelolanya. Lahan yang dibiarkan begitu saja akan berpengaruh terhadap menurunya unsur-unsur hara pada tanah tersebut. Hal demikian disebabkan karena rendahnya inisiatif dan tingkat kemalasan manusia untuk mengelolanya menjadi lahan yang berdaya guna. Dan juga banyak masyarakat NTT yang selalu berharap bahwa segala kebutuhan ternak terutama pakan disediakan oleh alam tanpa berpikir untuk mengelolanya sendiri. Apabila lahan kering yang ada digunakan sebagai lahan peternakan khususnya untuk lahan pananaman HMT, maka lahan tersebut dapat membawa keuntungan bagi petani peternak secara maksimal. Dengan adanya pemanfaatan  lahan kering sebagai lahan penanaman HMT, tidak hanya membawa keuntungan bagi petani peternak namun dapat juga mengembalikan unsur-unsur hara pada tanah tersebut.

Selain itu kondisi iklim suatu daerah sangat berpengaruh terhadap suatu lahan atau areal tertentu serta produksi, baik produksi peternakan maupun pertanian. Wilayah NTT beriklim kering yang dipengaruhi oleh angin musim. Periode musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei sampai dengan Nopember) sedangkan musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai dengan April). Curah hujan propinsi Nusa Tenggara Timur berkisar antara 697 – 2.737 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata tiap tahun antara 44 sampai 61 hari. Suhu udara rata-rata 27,6ºC, maksimum rata-rata 29º C dan suhu minimum rata-rata 26,1ºC (Sumber : Buku Prov. NTT Dalam Angka, Tahun 2007 BPS Prov. NTT). Kelembaban nisbi terendah terjadi pada musim Timur Tenggara (63-76%) yaitu bulan Juni sampai Nopember dan kelembaban tertinggi pada musim Barat Daya (82-88%) yaitu Desember sampai bulan Mei.   

Kondisi NTT yang musim kemaraunya lebih panjang ini menyebabkan rendahnya produksi hasil peternakan. Produksi peternakan sangat di pengaruhi oleh musim kemarau dimana pada musim kemarau hijauan maknan ternak tidak cukup tersedia di alam. Hal tersebut dapat juga berpengaruh pada ketersediaan air untuk hijauan makanan ternak, sebab air yang selalu ada dalam jumlah optimal sangat mendukung terhadap pertumbuhan, produktifitas, kualitas dan rutinitas hijauan makanan ternak. Selain itu air sangat penting dalam proses pembentukkan zat pengurai unsur hara di dalam tanah, khususnya pada lahan kering. Kekurangan pakan hijauan pada musim kemarau dapat menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan ternak, penundaan lama birahi pada ternak betina, mudah terkena penyakit dan tingkat kematian tinggi terutama pada ternak yang baru dilahirkan dan ternak yang masih menyusui (lihat gmbr pada lampiran).
 Adapula hal-hal lain yang terkait dengan lahan kering di NTT antara lain topografi dan keadaan tanah (lihat gambar pada lampiran). Apabila dilihat dari topografinya, maka wilayah NTT dapat dibagi atas 5 bagian besar, yaitu :
·         Agak berombak dengan kemiringan 3-16 %.
·         Agak bergelombang dengan kemiringan 17-26 %.
·         Bergelombang dengan kemiringan 27-50 %.
·         Berbukuti-bukit bergunung dengan kemiringan lebih besar dari 50 %.
·         Dataran banjir dengan kemiringan 0-30 %.
Keadaan topografi yang demikian mempunyai pengaruh pula terhadap pola pengembangan peternakan. Tanah dengan kemiringan yang tinggi diperlukan upaya khusus dalam pengelolaannya. Sebab topografi tanah sangat berpengaruh terhadap kesuburan, efisiensi produksi, pengelolaan, komunikasi/transportasi, pengairan dan penggunaan alat-alat mekanisasi dan pemupukan. Keadaan tanah di NTT banyak yang berbatu-batu, sehingga sangat sulit digunakan sebagai lahan penanaman HMT. Namun hal ini dapat dimudahkan apabila didukung oleh sumber daya manusia untuk mengolahnya. Sehingga lahan yang berbatu-batu tersebut dapat digunakan sebagai areal penanaman hijauan makanan ternak.

B.     UPAYA PENGELOLAAN LAHAN KERING UNTUK PENGEMBANGAN PETERNAKAN.

Pemanfatatan lahan kering di daerah NTT memang sangat diharapkan oleh semua pihak, khususnya pemanfaatan di bidang pertanian peternakan. Sukses dan tidaknya usaha pengembangan sistem peternakan di lahan kering seperti NTT sangat dipengaruhi oleh kontribusi dari manusia dan sumber daya ternak itu sendiri, tanpa mengabaikan pakan bagi ternak.

Hal utama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sumber daya manusia. Upaya-upaya dalam meningkatkan sumber daya manusia adalah konsekuensi yang baik, karena dengan demikian dapat membuka cara pemikiran yang cenderung memanfaatkan ternak tanpa memikirkan populasinya kedepan. Sumber daya yang dimaksud yaitu dengan menjalani pendidikan, sehingga dengan pendidikan dapat membuka wawasan dan cara berpikir yang bermanfaat. Selain itu juga dapat mengembangkan teknologi-teknologi baru yang mampu memperbaharui sistem peternakan lahan kering menjadi lebih optimal. Manusia perlu memanfaatkan lahan kering untuk digunakan sebagai sumber pakan bagi ternak. Misalnya pada musim hujan, manusia dapat memanfaatkan semaksimal mungkin pakan yang ada, memasuki musim peralihan menuju musim kemarau, pakan berupa hijauan dapat dibuat pakan awetan guna menjaga ketersediaan pakan dimusim kemarau, selain itu, juga pada musim peralihan ke musim panas, diharapkan dapat memanfaatkan lahan kering untuk menanam kembali berbagai jenis hijauan yang berpotensi tahan terhadap kekeringan.

Apabila kebutuhan pakan ternak terjamin maka ternak tersebut dapat berkembang dan berproduksi dengan maksimal. Masyarakat juga perlu membatasi pemotongan ternak dalam skala besar dan untuk meningkatkan populasi ternak perlu melihat keadaan ternak yang ideal sebelum dipastikan untuk dilakukan pemotongan. Masyarakat juga perlu meninjau kembali budaya yang selama ini diaplikasikan, yang menyebabkan banyak ternak yang dibunuh, misalnya upacara-upacara adat, upacara kematian. Dan juga butuh peran pemerintah NTT untuk memberikan dukungan bagi petani peternak dalam mengembangkan usahanya, berupa modal, pendidikan serta penerapan tekhonologi baik tekhnologi pakan maupun tekhnologi untuk manajemen. Selain itu dengan keadaan topografi lahan di NTT yang kurang mamadai maka peran masyarakat adalah melakukan terasering (lihat gmbr pda lampiran). Dengan adanya terasering maka tanaman yang ada pada lahan tersebut dapat tumbuh subur tanpa adanya pengikisan pada musim hujan. Sehingga pupuk yang kita berikan untuk kesuburan tanaman tersebut dapat bermanfaat dan tidak terbuang sis-sia oleh air hujan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pakan pada lahan kering yaitu, penerapan prinsip-prinsip rangeland managemen yang bertumpu pada upaya pengendalian vegetasi, pengendalian ternak dan pengendalian kesuburan tanah. Hal-hal yang dilakukan dalam penerapan prinsip diatas antara lain:
1.   Mengelola lahan kering yang ada dengan pemanfaatan sumber daya manusia yang berwawasan IPTEK. Dengan adanya IPTEK yang ada, kita mengelola lahan kering tersebut menjadi lahan yang berdaya guna. Pengolahan tanah bertujuan untuk mempersiapkan media tumbuh optimum bagi tanaman. Dengan lahan kering yang ada diolah secara baik, sehingga dapat menjamin perkembangan sistem perakaran yang sempurna, menjamin peningkatan aviabilitas zat-zat, memperbaiki aerasi dan kelembaban tanah, memperbaiki kelestarian serta kesuburan tanah dan persediaan air. Selain itu perlu melakukan pemberantasan invasi tumbuh-tumbuhan pengganggu (gulma). Tentunya pada lahan kering yang baru diolah menjadi lahan HMT, biasanya ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan pengganggu yang dapat menghambat pertumbuhan dari HMT itu sendiri. Semak-semak yang mengganggu harus diberantas karena dapat mengurangi kapasitas tampung padang penggembalaan. Tumbuh-tumbuhan pengganggu tersebut dapat diberantas dengan jalan menyabit dan menggunakan herbisida selektif.
2.   Mengintroduksi rumput unggul dan leguminosa, tanaman jagung, pada lahan kering yang telah diolah. Tidakan ini diperlukan guna mengatasi diskontinyutas suplai pakan bermutu sepanjang tahun, meningkatkan daya dukung pasture, memperbaiki status kesuburan tanah lewat simbiosa mutualisme antara akar legume dan bakteri rhyzobium guna memfiksasi N bebas dari udara, mengontrol gulma dan meningkatkan biodiversitas. Legum yang cocok untuk disebar di padang rumput adalah legume-legume yang mudah membentuk simbiosa dengan bakteri rhyzobium dan memiliki daya presistensi yang tinggi.
3.   Setelah rumput dan tanaman diatas diintroduksi, dilakukan penanaman pada lahan kering yang telah diolah.Waktu penanaman hijauan makanan ternak yang paling baik adalah pada awal sampai pertengahan musim hujan agar pada musim kemarau berikutnya, akar tanaman hijauan makanan ternak tersebut diharapkan sudah cukup kuat untuk menahan kekeringan. Bibit yang dapat ditanam berupa stek batang, cuplikan rumpun dan biji. Untuk rumput-rumputan cara menanamnya adalah dengan menancapkan separuh dari stek batang kedalam tanah dengan posisi tegak miring, dengan jarak tanam 1x1 m. Hal penting yang harus diperhatikan sewaktu menanam stek batang adalah mata tunas tidak terbalik. Jika terbalik, akan mempengaruhi atau mengahambat pertumbuhan tanaman. Sementara, bila akan menanam cuplikan rumpun, pada tanah yang akan ditanami rumput gajah atau rumput raja harus dibuat lubang tanam terlebih dahulu sedalam 30 cm. Penanaman rumput gajah atau rumput raja pada tanah yang miring tidak membutuhkan pengolahan tanah terlebih dahulu. Namun, cukup dibuatkan lubang-lubang tanam yang sesuai dengan kontur tanahnya sehingga sekaligus dapat berfungsi sebagai penahanan erosi. Jarak tanam rumput gajah atau rumput raja di lahan miring adalah 100x50 cm.
4.   Penanaman pohon-pohon sebagai pakan pelengkap
Pada padang penggembalaan di lahan kering diperlukan juga penyediaan naungan dan pakan pelengkap misalnya: telah dibuktikan bahwa produksi Axonopus compressus dibawah naungan pohon-pohon 20% lebih tinggi dan kandungan proteinnya lebih tinggi pula. Sehingga dengan adanya pepohonan dapat menyerap air hujan pada musim penghujan lewat perakaran, dan dapat membantu menjaga kelembaban tanah tersebut. Selain untuk naungan dan menjaga kelembaban tanah dapat juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pohon-pohon yang perlu ditanam seperti Leucaena leucocephala (lamtoro), Sesbania grandiflora (turi), Tamarindus indicus (asam) dan Acacia leucocephloea (pilang) menghasilkan daun-daunan dengan kombinasi yang baik sekali untuk pakan ternak. Sebab daun-daun dari pohon diatas mengandung protein yang cukup tinggi, misalnya lamtoro kandungan proteinnya 36,80% dan turi kandungan proteinnya 46,62%.  Bila jenis-jenis ini dipangkas pada saat yang tepat, daun-daunan tersebut juga akan dihasilkan dalam musim kering.
5.   Pengendalian ternak
Salah satu bagian yang menyebabkan kerusakan lahan adalah sistem pengembalaan ternak secara bebas. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat tahun 2003, luas lahan kritis di NTT mencapai sekitar 2.1 juta ha. Oleh karena itu, selain berupaya untuk menegakan aturan tentang tata ruang maka dipikirkan juga upaya untuk mengendalikan perumputan. Keutamaan dari pengendalian ternak adalah meciptakan ruang padang penggembalaan yang berimbangan diantara pencapaian produksi ternak dengan aspek sustainbability (keberlanjutan) dari pengunaan sumberdaya savana. Hal ini dapat dicapai dengan mengatur keseimbangan antara jumlah ternak dengan kemampuan lahan sehingga akan didapat tekanan penggembalaan yang optimum, membatasi daya jejah dan selektivitas penggembalaan. Pengendalian ternak dapat dilakukan melalui pengaturan stocking rate, pengaturan pola penggembalaan dan pengaturan distribusi ternak.
6.   Pengendalian kesuburan tanah
Untuk meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering hal yang paling utama adalah sumber air. Suplai air diberikan untuk pertumbuhan tanaman terutama pada tanaman di lahan kering. Sumber air dapat berasal dari sumber air alami atau sumber air buatan. Bila air merupakan suatu factor pembatas dalam pembinaan padang rumput, maka pembuatan dam-dam, tangki-tangki tanah dan waduk-waduk dapat merintis perbaikan setempat. Selain air, pilihan pengendalian kesuburan tanah dengan pupuk buatan dapat dilakukan dari pemanfaatan feses ternak. Pemberian pupuk kandang maupun kompos akan sangat bermanfaat bagi kondisi fisik tanah, karena akan memperbaiki struktur tanah. Di samping itu dapat pula diberikan pupuk anorganik seperti KCl, SP 36 dan Urea, disesuaikan dengan jenis tanah setempat. Pada lahan kering yang telah diolah sebagai lahan HMT akan ditumbuhi tumbuhan pengganggu (gulma), dapat diberantas dengan jalan menyabit dan menggunakan herbisida selektif. Selain  itu perbaikan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pola-pola seperti agroforestri sehingga serasah yang dihasilkan dapat membantu menaikkan tingkat kesuburan tanah. Upaya penyebaran leguminosa yang dapat mengikat N bebas dari udara juga merupakan cara biologis yang masuk akal (reasonable). Karena Nitrogen diperlukan oleh semua jenis-jenis rumput dan tidak dapat dipenuhi dengan jalan pemupukkan saja, maka perlu dipertimbangkan untuk menyebar biji-biji Stylosanthes gracilis (leguminosa) lewat udara. Karena bijinya sangat halus dan ringan maka perlu dibutirkan dengan tanah.
7.   Melakukan peremajaan. Padang penggembalaan permanen yang mundur atau terlantar di daerah iklim sedang biasanya diremajakan dengan jalan pembajakkan dan pembenihan baru dengan spesies rumput dan leguminosa yang unggul. Salah satu metoda yang tercepat di daerah-daerah tropika adalah mengganti rumput-rumput yang berproduksi rendah dengan spesies serta varietas rumput dan leguminosa yang lebih baik dan unggul. Penggunaan bajak harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan bahaya erosi oleh hujan dan oleh angin. Metode lain yang kurang drastik dalam hal mempersiapkan persemaian adalah dengan jalan membajak jalur berjarak lebar, tempat biji disebarkan atau menggunakan alat penabur benih langsung pada padang penggembalaan bersangkutan. Keputusan menanam suatu jenis hijauan makanan ternak yang unggul perlu pertimbangan jenis yang sesuai dengan alam setempat dan sistem penyajian yang akan dilakukan. Faktor penentu dalam usaha pengembanan hijauan makanan ternak dan faktor yang perlu diperhatikan adalah: curah hujan, jenis tanah dan ketinggian di atas permukaan laut.

8.   Pakan awetan
Penyediaan pakan awetan dalam bentuk hay, silase, tanaman makanan ternak atau “standing hay” adalah salah satu cara untuk meringankan tekanan penggembalaan terhadap padang rumput selama musim kemarau. Untuk menjamin ketersediaan HMT selama musim kemarau yang panjang terutama pada lahan kering, dapat diterapkan tekhnologi pengolahan pakan seperti pembuatan silase dan hay.
ü Hay
Hay adalah tanaman hijauan pakan ternak, berupa rumput-rumputan/leguminosa yang disimpan dalam bentuk kering berkadar air 20-30%. Prinsip dari pengeringan yaitu menurunkan kandungan air sehingga aman untuk disimpan dalam arti dapat menghentikan/menghambat aktifitas dari tumbuhan itu sendiri dan enzim dari mikrobia yang terdapat didalarnnya dan menurunkan kandungan air sehingga aman untuk disimpan
Pembuatan hay bertujuan untuk menyeragamkan waktu panen agar tidak menganggu pertumbuhan pada periode berikutnya, sebab tanaman yang seragam akan memiliki daya cerna yang lebih tinggi. Tujuan khusus pembuatan hay adalah agar tanaman hijauan (pada waktu panen yang berlebihan) dapat disimpan untuk jangka waktu tertentu sehingga dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Hijauan yang akan diolah harus dipanen saat menjelang berbunga (berkadar protein tinggi, serat kasar dan kadar air optimal), sehingga hay yang diperoleh tidak berjamur yang akan menyebabkan turunnya palatabilitas dan kualitas (Subur, 2006). Di NTT limbah pertanian terutama jerami padi banyak diolah menjadi hay karena hasilnya berlimpah, tidak perlu menanam khusus tinggal mengumpulkan saja sehingga penggunaannya menjadi sangat popular, meskipun rendah nutrisinya.
ü Silase
Silase adalah proses pengawetan makanan yang dilakukan pada sebuah silo pada kondisi anaerob atau dengan kata lain silase adalah proses fermentasi yang dilakukan untuk mengawetkan hijauan makanan ternak dalam keadaan basah atau lembab. Tujuan pembutan silase adalah untuk mengantisipasi kekurangan hijauam makan pada musim kemarau dengan kualitas yang baik. Misalnya pada musim hujan, manusia dapat memanfaatkan semaksimal mungkin pakan yang ada, memasuki musim peralihan menuju musim kemarau, pakan berupa hijauan dapat dibuat silase guna menjaga ketersediaan pakan dimusim kemarau, selain itu juga pada musim peralihan ke musim panas, diharapakan dapat memanfaatkan lahan kering untuk menanam kembali berbagai jenis hijauan yang berpotensi tahan terhadap kekeringan. Selain itu system peternakan semi ekstensif dimana ternak dikandangkan dan digembalakan di padang penggembalaan juga dapat dilaksanakan. Padang pengembalaan (rumput sampai pohon) dapat tersedia dengan kualitas yang baik selama musim hujan walaupun berada pada lahan kritis. Di NTT mempunyai lahan yang cukup luas dan belum termanfaatkan sehingga dapat dijadikan sebagai padang penggembalaan.


C.     POTENSI TERNAK DI LAHAN KERING

Pada umumnya sistem peternakan di NTT masih bersifat ekstensif dimana semasa hidupnya ternak (sapi, kerbau, kambing, kuda, babi, dll) dibiarkan begitu saja di padang penggembalaan bagi ternak ruminansia dan menyediakan kandang darurat bagi ternak monogastrik tanpa memperhatikan pola makan dari ternak tersebut. Kenyataan yang kita lihat di masyarakat saat sekarang, banyak yang memelihara ternaknya dengan cara membiarkan ternak mencari makanannya sendiri di alam. Oleh karena itu, perlu dirubah model pengembangan system peternakan di NTT, yaitu dengan penggunaan system pemeliharaan secara semi intensif maupun intensif, dimana system semi intensif ternak dibiarkan di padang penggembalaan dan dikandangkan serta pola makan dikontrol oleh manusia sedangkan system intensif seluruh kehidupan ternak berada di bawah pengontrolan manusia. Dengan demikian produsi ternak yang diharapkan oleh masyarakat petani peternak dapat diperoleh secara maksimal.

Selain itu untuk meningkatkan potensi peternakan di NTT, masyarakat perlu membatasi pemotongan ternak dalam skala besar, untuk meningkatkan populasi ternak, dan perlu melihat keadaan ternak yang ideal sebelum dipastikan untuk dilakukan pemotongan. Dengan SDM yang ada masyarakat NTT juga perlu meninjau kembali budaya yang selama ini diaplikasikan, yang menyebablan banyak ternak yang dibunuh, misalnya upacara-upacara adat, upacara kematian, syukuran dan sebagainya.  Dengan demikian, potensi peternakan yang diharapkan pada lahan kering, khususnya di NTT dapat diwujudkan dan memperoleh hasil yang cukup menguntungkan bagi para petani peternak NTT.

Populasi ternak yang cocok untuk wilayah NTT dengan melihat kondisi iklim dan  kondisi lahan kering adalah ternak sapi, kuda, kambing dan domba, babi, ayam kampung dan ayam ras. Hal ini dapat dilihat dari populasi ternak/unggas dan perubahannya pada tahun 2009 dan 2010 di NTT pada table C.1 di bawah ini.

TABEL C.1
POPULASI TERNAK/UNGGAS DAN PERUBAHANNYA
TAHUN 2009-2010

NO
Jenis ternak/unggas
2009
2010
Pertumbuhan/tahun (%)
1
2
3
4
1
Sapi/sapi perah
577.522
599.279
3,77
2
Kerbau
150.405
150.357
-0,03
3
Kuda
105.379
104.173
-1,14
4
Kambing dann domba
552.060
606.512
9,86
5
Babi
2.266.750
1.615.487
-28,73
6
Ayam kampung
10.044.577
10.348.742
3,03
7
Ayam ras
105.635
513.738
386,33
8
Itik manila
299.307
272.102
-9,09
Sumber: Dinas Peternakan Propinsi NTT. Statistik pertanian NTT 2010.

Khusus untuk ternak sapi, populasi terbanyak berada di pulau Timor yakni, Kabupaten Kupang dan TTS masing-masing 151.691. Sementara untuk ternak kerbau terbanyak di Pulau Sumba dan Kabupaten Manggarai Barat, sedangkan ternak kuda terbanyak di Pulau Sumba. Sementara itu untuk ternak kecil (Kambing/domba dan babi) populasi terbanyak di Kabupaten TTS, Flores Timur, Belu, Ende  dan Kupang, (dapat dilihat pada table C.2).

Populasi dan penyebaran ternak di NTT erat hubungannya dengan tersedianya lahan untuk penggembalaan, kegiatan pertanian dan penyebaran penduduk. Selain itu populasi dan penyebaran ternak sangat bergantung dengan iklim dan daya adaptasi dari jenis ternak/unggas yang bersangkutan. Daerah yang iklim dan tanahnya tidak/kurang subur untuk usaha pertanian (biasanya padang rumput) sangat baik untuk usaha peternakan, seperti Pulau Sumba bagian Timur dan Pulau Timor bagian Barat. Iklim berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi ternak, karena tiap jenis ternak menghendaki iklim dan keadaan tempat tertentu, seperti sapi, kuda dan kambing menghendaki daerah yang sedikit curah hujannya sebaliknya kerbau dan itik menghendaki daerah yang banyak curah hujannya. Populasi tenak di NTT dapat diuraikan seperti berikut ini:
1.      Ternak Sapi, seperti diuraikan sebelumnya bahwa populasi sapi terkonsentrasi di Daratan Timor yaitu sebesar 80,02%, dengan Kabupaten Kupang sebagai wilayah konsentrasi yaitu sebesar 25,3% dari populasi sapi di NTT sedangkan yang paling sedikit di Kabupaten Alor yakni sebesar 0,2%.(Dinas Peternakan Propinsi NTT. Statistik pertanian NTT 2010).
2.      Ternak Kerbau, penyebarannya terbanyak di Pulau Sumba yaitu hampir 50 % dan Flores sekitar 37%, sedangkan daratan Timor 23,5% dan Alor hanya 0,01%. Bila dicermati per kabupaten penyebarannya relative tidak merata, karena ternak ini hanya cocok hidup pada daerah dataran rendah dengan curah hujan tinggi dan rawa-rawa. Daerah-daerah yang kering atau kurang curah hujannya seperti Alor, Flores Timur dan Sikka kurang cocok untuk pemeliharaannya sehingga daerah ini populasi kerbaunya sedikit.
3.      Kuda adalah jenis ternak yang banyak digunakan oleh masyarakat sebagai alat pengangkutan terutama bagi masyarakat di pedesaan. Selain itu juga ternak ini hanya dipelihara hanya sebagai hobbi dan juga sebagai mahar (belis) dalam adat-istiadat. Populasi kuda yang terbanyak adalah di Daratan Sumba yaitu 47%, kemudian Daratan Flores 26,5% dan Daratan Timor 26,3%, sedangkan Daratan Alor presentasenya sangat rendah yaitu 0,2%.
4.      Babi, jenis ternak babi sangat potensial untuk dikembangkan, karena kesanggupannya beradaptasi dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam. Di samping itu pemeliharaannya juga tidak sulit karena babi dapat memanfaatkan limbah rumahtangga sebagai pakannya. Populasi ternak babi terbanyak di daratan Flores yaitu sebesar 45% dan Timor 43,3%. Sementara di daratan Sumba 6,5% dan di Daratan Alor 5%.
5.      Kambing/domba di wilayah NTT terbanyak di daratan Flores dan Timor masing-masing sebanyak 47,9% dan 40,8%, sementara di daratan Sumba dan Alor hanya 9,5% dan 5%. Kabupaten dengan jumlah terbanyak adalah Rote Ndao 12,8%, Flores Timur 10,7%, Sabu Raijua 9% dan TTS 6,9%.
6.      Penyebaran Unggas
Ternak unggas yang dipelihara masyarakat adalah ayam kampong, ayam ras dan itik. Dari ketiga jenis unggas ini, populasi ayam kampong adalah yang terbanyak yaitu 10.348.742 ekor. Tingginya populasi ayam kampong dibanding kedua jenis unggas lainnya disebabkan ayam kampong telah berkembang lama dan merupakan jenis ternak unggas yang paling lama dikenal masyarakat dan banyak dipelihara oleh penduduk desa baik sebagai usaha rumahtangga atau usaha sampingan.
6.1.Ayam Kampung
Populasi ayam kampong terbanyak berada di daratan Flores yaitu 46%. Dirinci menurut kabupaten/kota, kabupaten Kupang memiliki populasi tertinggi 19,5% kemudian Ende 18,04%, Timor Tengah Selatan 7,9r%, Belu 7,8% dan Manggarai 6,6%, sedangkan populasi ayam kampong terendah terdapat di kota Kupang sebanyak 0,2%.
6.2.Ayam Ras
Populasi ayam ras jauh lebih rendah dari ayam kampung dimungkinkan karena dari segi pemeliharaannya ayam ras lebih intensif di banding dengan ayam kampung. Dari table C.2 terlihat bahwa populasi ayam ras terkonsentrasi di daratan Timor khususnya Kota Kupang, sedangkan kabupaten lainnya relative kecil.
6.3.Itik
Populasi itik di NTT terbanyak di daratan Flores yaitu 69,1% dan aratan Timor dengan presentase sebesar 27,9%, sedangkan daratan Alor dan Sumba relative kecil masing-masing 4,7% dan 1,3%.

TABEL C.2
PRESENTASE PENYEBARAN TERNAK/UNGGAS
DI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2010

Daratan
Sapi*)
Kerbau
Kuda
Kambing/ Domba
Babi
Ayam Ras
Ayam Kapung
Itik/Itik Manila
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
DARATAN SUMBA
8,85
49,45
46,96
9,48
6,55
8,82
11,62
1,29
01.     SUMBA BARAT
0,14
7,03
4,48
0,59
1,11
8,82
1,51
0,11
02.     SUMBA TIMUR
7,59
24,06
29,13
7,50
2,67
0,00
5,24
0,77
03.     S.BARAT DAYA
0,59
11,41
7,84
0,76
1,86
0,00
3,38
0,28
04.     SUMBA TENGAH
0,52
6,05
5,51
0,63
0,91
0,00
1,50
0,12
DARATAN TIMOR
80,02
13,47
26,33
40,85
43,44
83,28
38,58
27,93
01.     KUPANG
25,31
1,54
8,44
5,89
5,81
0,87
19,56
7,45
02.     T.T.S
21,56
0,37
5,09
6,45
18,99
0,00
7,93
3,68
03.     T.T.U
10,82
0,51
2,44
3,22
4,48
0,38
1,42
3,50
04.     BELU
18,76
1,85
4,03
2,63
7,29
0,00
7,84
7,81
05.     KOTA KUPANG
0,62
0,01
0,05
0,81
1,49
79,21
0,25
0,99
06.     ROTE NDAO
2,69
7,59
4,58
12,84
4,45
0,00
1,12
4,49
07.     SABU RAIJUA
0,25
1,59
1,70
9,01
0,94
2,82
0,46
0,00
DARATAN ALOR
0,23
0,01
0,16
5,09
4,99
0,12
3,77
4,71
01.     ALOR
0,23
0,01
0,16
5,09
4,99
0,12
3,77
4,71
DARATAN FLORES
10,90
37,07
26,56
47,88
45,02
7,78
46,04
69,10
01.     LEMBATA
0,26
0,00
1,66
5,79
3,54
0,00
1,97
6,84
02.     FLOTIM
0,29
0,03
2,57
10,72
9,36
0,00
5,23
4,10
03.     SIKKA
0,88
0,37
3,26
6,88
6,83
0,00
5,20
17,17
04.     ENDE
1,20
1,87
2,62
4,17
4,83
0,00
18,04
23,02
05.     NGADA/NAGEKEO
6,34
8,92
8,87
8,76
10,76
0,93
7,66
7,25
06.     MANGGARAI
0,97
5,11
1,12
3,37
3,76
6,86
6,64
3,20
07.     M.BARAT
0,40
14,70
1,21
1,87
2,67
0,00
1,29
4,49
08.     M.TIMUR
0,56
6,07
5,25
3,03
3,28
0,00
0,00
0,00
NTT
100,00
100,00
100,00
103,30
100,00
100,00
100,00
103,02
            *)Termaksud sapi perah
Sumber: Dinas Peternakan Prop. Nusa Tenggara Timur (Statistik Pertanian NTT 2010)
Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa potensi peternakan di daerah NTT mempunyai peluang yang sangat besar, meskipun daerah di NTT kurang mendukung untuk peternakan itu sendiri, khususnya dalam hal penyediaan hijauan makanan ternak. Hal ini dapat tercapi apabila adanya peran dan kerjasama yang baik dari masyarakat NTT dan pemerintah NTT itu sendiri.

D.    KOMBINASI PEMANFAATAN LAHAN KERING PERTANIAN DENGAN PETERNAKAN DAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM
                                                                                                     
Melihat kondisi di atas maka model pengembangan peternakan lahan kering yang sesuai untuk diterapkan di NTT yakni dengan model “Alih Fungsi Lahan Pertanian Untuk Ternak”. Yang dimaksudkan dengan alih fungsi lahan pertanian yakni lahan pertanian yang sebelumnya berfungsi sebagai sumber produksi hasil pangan pertanian yang hasilnya tidak maksimal, dialihkan fungsinya menjadi lahan penyediaan hijauan makanan ternak (HMT) dan kebun pakan ternak. Atau mengintegrasikan ternak kedalam sektor peternakan dan pertanian, peternakan dan perkebunan dan system tigastrata.  Dengan pengkombinasian lahan tersebut maka kita dapat mengatasi kekurangan pakan bagi ternak pada musim kemarau. Oleh karena itu, ada satu hal yang perlu diperhatikan yakni: ketersediaan sumber air pada musim kemarau pada lahan persawahan, untuk sumber airnya dapat disuplai dari air irigasi.

Selain lahan digunakan untuk hijauan makanan ternak untuk ternak ruminansia terutama ternak sapi juga bisa digunakan untuk menanam pakan sumber energy bagi ternak monogastrik seperti babi dan ayam, misalnya lahan bisa digunakan untuk menanam tanaman umbi-umbian yang merupakan bahan pakan sumber energy tinggi bagi ternak babi.

Dengan adanya peternakan dan SDA serta SDM yang ada, hasil dari limbah peternakan seperti kotoran ternak dapat diolah menjadi pupuk misalnya pupuk bokashi dan pupuk kompos. Pupuk yang dihasilkan tersebut kita gunakan untuk meningkatkan unsure hara tanah di lahan kering, dan dapat digunakan sebagai lahan pertanian/perkebunan. Tanaman perkebunan misalnya jagung, padi, dan kacang-kacangan. Sehingga hasil sisa dari tanaman perkebunan, misalnya jerami jagung, kacang-kacangan maupun jerami padi tersebut dapat kita manfaatkan sebagai pakan ternak. Tekhnologi pengolahan pakan ternak yang dapat dibuat dari jerami tersebut antara lain pembuatan hay.

Dengan demikian hijauan makanan ternak pada lahan kering seperti NTT dapat tersedia secara kontinyu dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Dan potensi peternakan yang diharapkan pada lahan kering dapat memberikan produksi yang maksimal dan menguntungkan terutama bagi petani dan peternak.


BAB III
KESIMPULAN

Secara konseptual pembangunan peternakan diarahkan kepada tercapainya tiga sasaran, yakni: (1). Sasaran pemerataan yang akan dicapai melalui usaha meningkatkan pendapatan petani peternak dan menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan gizi masyarakat, (2). Sasaran pertumbuhan yang akan dicapai melalui usaha-usaha meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan dalam negeri, ekspor maupun mengurangi impor; dan (3). Sasaran kelestarian dengan optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam, khususnya dalam kaitan sumber daya peternakan.
Provinsi NTT memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan peternakan. Namun di provinsi NTT beriklim kering (Semi arid) yang dipengaruhi oleh Angin muson. Kondisi wilayah Nusa Tenggara Timur hanya memiliki dua musim, yaitu musim penghujan sangat pendek pada bulan Desember sampai bulan April, sedangkan musim kemarau panjang dan kering terjadi pada bulan Mei sampai bulan Nopember. Keadaan demikian berakibat jumlah pakan untuk ternak akan tersedia dalam jumlah yang banyak serta memiliki  kualitas yang baik pada musim hujan saja, sedangkan pada musim kemarau jumlah pakan yang tersedia sangatlah sedikit dengan kualitas yang rendah. Hal ini diperparah lagi dengan system pemeliharaan ternak yang masih ekstensif, serta kurangnya sumber daya manusia untuk memanfaatkan lahan kering di NTT sebagai tempat tersedianya hijauan makanan bagi ternak. Akibatnya tidak dapat memenuhi kebutuhan pakan bagi ternak sehingga produksi yang diharapkan tidak optimal dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi.  Oleh karena itu perlu adanya sumber daya manusia yang berwawasan IPTEK untuk meningkatan potensi peternakan di NTT terutama pada lahan kering.
Hal-hal yang dilakukan bila dilihat dari kondisi NTT maka kita perlu melakukan perbaikan lahan kering di NTT. Usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kembali kesuburan tanah pada lahan kering yaitu, penerapan prinsip-prinsip rangeland management yang bertumpu pada upaya pengendalian vegetasi, pengendalian ternak dan pengendalian kesuburan tanah. Hal-hal yang dilakukan dalam penerapan prinsip diatas antara lain: pengolahan kembali lahan kering, mengintroduksi tanaman makanan ternak yang unggul pada lahan tersebut, melakukan pengendalian ternak, melakukan pengendalian kesuburan tanah, melakukan peremajaan dan menyediakan pakan pelengkap untuk musim kemarau. Selain itu dengan SDM yang ada memanfaatkan peternakan untuk lahan pertanian yang kemudian hasil dari limbah pertanian tersebut bisa digunakan sebagai penyedia pakan bagi ternak, baik untuk ternak ruminansia maupun untuk ternak monogastrik. Selain perbaikan lahan kering perlu adanya peran dan kerjasama yang baik dari masyarakat NTT dan pemerintah NTT itu sendiri dalam hal pengaturan (regulation), pelayanan (services), penyuluhan (extension) dan sebagai motivator (agent of development).A




DAFTAR PUSTAKA

Abdel Komar. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami sebagai Makanan Ternak. Yayasan Dian               Grahita Indonesia.
Huitema, H. 1986. Peternakan Di Daerah Tropis Arti Ekonomi Dan Kemampuannya. Yayasan Obor Indonesia dan Penerbit PT Gramedia.
Herman Supriadi, Hans Anwarhan. Dan Uka Kusnadi. 1997. “Potensi Kendala dan Alternatif Pengembangan Hijauan Pakan di Lahan Kering Podsolik Merah Kuning di Sumatra.” Dalam: Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Kukuh Budi Satoto. 1991. Makanan Ternak Potong. Fakultas Peternakan IPB kerja sama dengan Direktorat Jenderal Peternakan, Deparetemen Pertanian.
Lubis, D, A. 1959. Ilmu Makanan Ternak. PT Pembangunan.
Mangut Imam, S. 2003. Strategi Pengembangan Peternakan yang berkesinambungan, Proc. Sminar Nasional. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, Bogor.
Pusat  Penelitian Dan Pengembangan Peternakan. 1990. Informasi Teknis Peternakan. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Sariubang, M., A. Ella, A. Nurhayu 2003. Laporan Sistem Usahatani Tanaman Ternak Pada Lahan Kering Dataran Rendah di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan.
Sriharini Imam Suwoko. 1991.Hijauan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan IPB kerja sama dengan Direktorat Jenderal Peternakan.Departemen Pertanian.
Sinar Tani.1996. “Budi Daya Rumput Gajah untuk Pakan Ternak.” dalam: Menuju Pertanian Tangguh. Departemen Pertanian.
Siregar. M.E. 1988. “King Grass sebagai Hijauan Pakan Ternak,” dalam: Warta Litbang Pertanian. No. 4. Vol. 10 Juli.
Williamson, G., An Introduction Animal Husbandry in The Tropic. (London: Third Ed. Longman, 1997).




2 komentar:

  1. mantap,,, kembangkan terus peternakan di NTT,, Fapet Uberalles

    BalasHapus
  2. Bagus (y)
    NTT siap jadi provinsi ternak..

    BalasHapus